Pengantar
Ini adalah kisah yang panjang dan alurnya mengalir jelas. Peristiwanya gambling, yang menceritakan tentang Nabi Ismail bin Khalilullah Ibrahim ‘Alayhi Salam dan tentang Siti Hajar Ummu Ismail. Semua orang Arab adalah keturunan Ismail. Ada yang menyatakan bahwa sebagian orang Arab berasal dari asal usul Arab kuno yang bukan anak keturunan Ismail. Siti Hajar adalah wanita Mesir yang dihadiahkan oleh penguasa dzalim Mesir kepada Siti Sarah dalam sebuah kisah yang lain.
Baca Juga : Kisah Nabi Ibrahim Dan Siti Sarah Dengan Raja Yang Dzholim
Manakala Nabi Ibrahim belum kunjung dikaruniai anak dari istrinya yaitu Siti Sarah, maka Siti Sarah memberikan hamba sahayanya kepada Nabi Ibrahim untuk dinikahi dengan harapa darinya Allah akan memberinya anak. Siti Hajar pun hamil dan melahirkan Nabi Ismail di bumi yang penuh berkah, yaitu Palestina.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menceritakan kisah Siti Hajar kepada kita, apa yang terjadi antara dia dengan Siti Sarah dan bagaimana Allah memerintahkan Nabi Ibrahim agar pindah bersama Siti Hajar dan Nabi Ismail ke belahan bumi termulia (Makkah). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjelaskan kondisi tempat di mana Siti Hajar dan putranya, Nabi Ismail, berdiam. Beliau menjelaskan kepada kita tentang Nabi Ibrahim yang meninggalkan keduanya di tempat yang sepi, tanpa makanan, minuman dan penduduk. Beliau juga menjelaskan apa yang terjadi dengan Hajar dan Ismail sepeninggal Ibrahim sampai akhirnya Ibrahim dan Ismail membangun Baitullah Al-Haram sebagai rumah pertama yang diletakkan untuk manusia.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Said bin Jubair yang berkata bahwa Ibnu Abbas berkata, “Wanita pertama yang membuat ikat pinggang adalah ibu Ismail (Siti Hajar). Hal itu ia lakukan agar dapat menutupi jejak kakinya dari Siti Sarah. Kemudian Nabi Ibrahim membawa istri dan putranya, Ismail, yang masih disusuinya. Hingga akhirnya Nabi Ibrahim menempatkan keduanya di dekat Baitullah di sisi sebuah pohon besar di atas sumur Zamzam di bagian atas Masjidil Haram. Pada saat itu Makkah tidak berpenghuni seorang pun, dan tidak ada air. Beliau meninggalkan keduanya, juga meletakkan sebuah kantong berisi kurma dan kantong kulit berisi air. Ketika Nabi Ibrahim melangkah pergi, Siti Hajar menyusulnya seraya bertanya, “Wahai Ibrahim, ke mana engkau akan pergi? Apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia pun dan tidak ada sesuatu appun?” Siti Hajar terus-menerus menanyakan hal itu, dan Nabi Ibrahim tidak menoleh kepadanya. Maka Siti Hajar bertanya kembali, “Apakah Allah yang menyuruhmu melakukan ini?” Nabi Ibrahim menjawab, “Ya.” Siti Hajar pun berucap, “Kalau memang demikian, Dia tidak akan mengabaikan kami.” Selanjutnya Siti Hajar kembali.
Nabi Ibrahim terus berjalan hingga ketika sampai di sebuah bukit di mana mereka tidak melihatnya, beliau menghadapkan wajahnya ke Baitullah, lalu berdoa dengan beberapa kalimat seraya mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah rizki kepada mereka dari buah-buahan. Mudah- mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)
Siti Hajar menyusui Nabi Ismail dan meminum air yang berada di dalam kantong kulit. Air sudah habis, ia merasa kehausan, demikian pula putranya yang merengek-rengek kehausan. Ia pun pergi karena tidak tega melihatnya. Hingga ia menemukan Shafa, gunung yang paling dekat dengannya. Maka ia berdiri di atasnya, menghadap ke lembah sambil melihat-lihat adakah seseorang, tetapi dia tidak melihat seorang pun. Setelah turun dari Shafa, ia sampai di lembah, ia mengangkat ujung bajunya dan berusaha keras seperti orang yang berjuang mati-matian, hingga berhasil melewati lembah. Lalu dia mendatangi Marwah, berdiri di atasnya sembari melihat apakah ada seseorang yang dapat dilihatnya, tetapi dia tetap tidak melihat seorang pun. Dia melakukan hal itu sebanyak tujuh kali.“
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata, “Karena hal inilah orang-orang melakukan sa’i di antara keduanya (Shafa dan Marwah).”
Ketika mendekati Marwah, ia mendengar sebuah suara. Ia pun berkata kepada dirinya, “Diam. Kemudian ia berusaha mendengar lagi hingga ia pun mendengarnya. Lalu ia berkata, “Engkau telah memperdengarkan. Adakah Engkau dapat menolong?” Tiba-tiba ia mendapatkan Malaikat di tempat sumber air Zamzam. Kemudian Malaikat itu menggali tanah dengan tumitnya, dalam riwayat lain, dengan sayapnya, hingga muncullah air. Ia membendung air dengan tangannya. Ia menciduk dan memasukkan air itu ke kantongnya. Air itu terus mengalir deras setelah ia menciduknya.”
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada ibu Ismail, jika saja ia membiarkan Zamzam.” Atau beliau bersabda, ”Seandainya ia tidak menciduk airnya, niscaya Zamzam menjadi mata air yang mengalir.“
Lebih lanjut, Ibnu Abbas mengatakan bahwa kemudian ia meminum air itu dan menyusui anaknya. Lalu Malaikat berkata kepadanya, “Janganlah engkau khawatir akan disia-siakan, karena di sini terdapat sebuah rumah Allah yang akan dibangun oleh anak ini dan bapaknya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan menelantarkan penduduknya.” Posisi rumah Allah itu terletak lebih tinggi dari permukaan bumi, seperti sebuah anak bukit yang diterpa banjir sehingga mengikis bagian kiri dan kanannya.
Kondisi ibu Ismail terus seperti itu sampai sekelompok Bani Jurhum atau sebuah keluarga dari kalangan Bani Jurhum melewati mereka. Mereka datang melalui jalan Keda’. Kemudian mereka mendiami daerah Makkah yang paling bawah. Mereka melihat seekor burung berputar di angkasa, mereka berkata, “Burung itu pasti sedang mengitari air. Kita mengenal bahwa di lembah ini tidak ada air.” Mereka pun mengutus satu atau dua orang. Ternyata utusan itu menemukan air. Lalu mereka kembali dan memberitahukan perihal air tersebut. Maka mereka pun datang. Ibnu Abbas selanjutnya menc eritakan, “Ibu Ismail ketika itu masih berada di sumber air tersebut. Maka mereka pun bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau mengizinkan kami untuk singgah di sini?’ ’Ya, tetapi kalian tidak berhak atas air ini,’ jawab ibu Ismail. Mereka pun menyahut, ’Baiklah.’ Kemudian, lanjut Ibnu Abbas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam pun bersabda, “Maka ibu Ismail menerima hal itu, karena ia memerlukan teman.” Mereka pun singgah di sana dan mengirimkan utusan kepada keluarga mereka agar ikut datang dan menetap di sana bersama mereka. Hingga berdirilah beberapa rumah. Akhirnya sang bayi (Ismail) pun tumbuh besar dan belajar bahasa Arab dari mereka, serta menjadi orang yang paling dihargai dan dikagumi ketika menginjak usia remaja. Setelah dewasa mereka menikahkannya dengan seorang wanita dari kalangan mereka. Setelah itu ibu Ismail meninggal dunia.
Setelah Ismail menikah, Ibrahim datang untuk menc ari yang dulu ditinggalkannya, tetapi ia tidak menemukan Ismail di sana. Lalu Ibrahim menanyakan keberadaan Ismail kepada istrinya (menantu Ibrahim). Istri Ismail menjawab, “Ia sedang pergi menc ari nafkah untuk kami.” Kemudian Ibrahim menanyakan perihal kehidupan dan keadaan mereka, maka istrinya menjawab, “Kami berada dalam kondisi yang buruk. Kami hidup dalam kesusahan dan kesulitan.” Ia mengeluh kepada Ibrahim. Ibrahim pun berpesan, “Jika suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya dan katakan kepadanya agar mengubah palang pintunya.” Ketika Ismail datang, seolah-olah ia merasakan sesuatu, kemudian ia bertanya, “Apakah ada orang yang datang mengunjungimu?” “Ya, kami didatangi seorang yang sudah tua, begini dan begitu, lalu ia menanyakan kepada kami mengenai dirimu, dan aku memberitahukannya. Selain itu, ia pun menanyakan ihwal kehidupan kita di sini, maka aku pun menjawab bahwa kita hidup dalam kesulitan dan kesusahan,” jawab istrinya.
“Apakah ia berpesan sesuatu kepadamu?” tanya Ismail. Istrinya menjawab, “Ia menitipkan salam kepadaku untuk aku sampaikan kepadamu dan menyuruhmu agar mengubah palang pintu rumahmu.” Ismail pun berujar, “Ia adalah ayahku. Ia menyuruhku untuk menc eraikanmu. Karenanya, kembalilah engkau kepada keluargamu.” Maka Ismail menc eraikannya, lalu mengawini wanita lain dari Bani Jurhum.
Ibrahim tidak mengunjungi mereka selama beberapa waktu. Setelah itu Ibrahim mendatanginya, namun ia tidak juga mendapatinya. Kemudian ia menemui istrinya dan menanyakan perihal keadaan Ismail. Maka istrinya menjawab, “Ia sedang pergi menc ari nafkah untuk kami.” “Bagaimana keadaan dan kehidupan kalian?” tanya Ibrahim. Istri Ismail menjawab, “Kami baik-baik saja dan berkecukupan.” Seraya memuji (bersyukur kepada) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian Ibrahim bertanya, “Apa yang kalian makan?” Istri Ismail menjawab, “Kami memakan daging.” “Apa yang kalian minum?” lanjut Ibrahim. Istri Ismail menjawab, “Air.” Kemudian Ibrahim berdoa, “Ya Allah, berkatilah mereka pada daging dan air.”
Selanjutnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Pada saat itu mereka belum mempunyai makanan berupa biji-bijian. Seandainya mereka memilikinya, niscaya Ibrahim akan mendoakannya supaya mereka diberikan berkah pada biji-bijian itu.” Lebih lanjut Ibnu Abbas berkata, “di luar Makkah, kedua jenis itu (daging dan air) bisa didapatkan dengan mudah, hanya saja keduanya tidak cocok (sebagai makanan pokok).” Ibrahim berpesan, “Jika suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya dan suruh ia untuk memperkokoh palang pintunya.” Ketika datang, Ismail bertanya, “Apakah ada orang yang datang mengunjungimu?” Istrinya menjawab, “Ya, ada orang tua yang berpenampilan sangat bagus –seraya memuji Ibrahim- dan ia menanyakan kepadaku perihal dirimu, lalu kuberitahukan. Setelah itu ia menanyakan perihal kehidupan kita, maka aku menjawab bahwa kita baik-baik saja.”
“Apakah ia berpesan sesuatu hal kepadamu?” tanya Ismail. Istrinya menjawab, “Ya, ia menyampaikan salam kepadamu dan menyuruhmu agar memperkokoh palang pintumu.” Lalu Ismail berkata, “Ia adalah ayahku. Engkaulah palang pintu yang dimaksud. Ia menyuruhku untuk tetap hidup rukun bersamamu.”
Kemudian Ibrahim meninggalkan mereka selama beberapa waktu. Setelah itu ia datang kembali, ketika itu Ismail tengah meraut anak panah di bawah pohon besar dekat sumur Zamzam. Ketika melihatnya, Ismail bangkit. Keduanya melakukan apa yang biasa dilakukan oleh anak dengan ayahnya dan ayah dengan anaknya jika bertemu. Ibrahim berkata, “Wahai Ismail, sesungguhnya Allah memerintahkan sesuatu kepadaku.” “Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Tuhanmu itu,” sahut Ismail. Ibrahim pun bertanya, “Apakah engkau akan membantuku?” “Aku pasti akan membantumu,” jawab Ismail. Ibrahim bertutur, “Sesungguhnya Allah menyuruhku untuk membangun sebuah rumah di sini.” Seraya menunjuk ke anak bukit kecil yang letaknya lebih tinggi dari sekelilingnya.
Ibnu Abbas pun melanjutkan ceritanya bahwa pada saat itulah keduanya meninggikan pondasi Baitullah. Ismail mengangkat batu, sedang Ibrahim memasangnya. Ketika bangunan itu sudah tinggi, dia meletakkan sebongkah batu untuk dijadikan pijakannya. Ibrahim berdiri di atasnya sambil memasang batu, sementara Ismail menyodorkan batu-batu kepadanya. Keduanya pun berdoa, “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)
Ibnu Abbas meneruskan, bahwa keduanya terus membangun hingga menyelesaikan seluruh bangunan Baitullah. Keduanya berdoa, “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)
Dalam riwayat lain dalam Shahih dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas berkata, “Ketika terjadi apa yang terjadi antara Ibrahim dan keluarganya, Ibrahim membawa pergi Ismail dan ibunya dan mereka membawa kantong air. Ibu Ismail minum air dari kantong itu dan menyusui anaknya, sampai Ibrahim tiba di Makkah. Lalu Ibrahim meletakkannya di bawah rindang pohon besar. Ibrahim pun meninggalkannya untuk pulang kepada keluarganya. Ibu Ismail menguntitnya. Sesampainya di Keda’, ibu Ismail memanggilnya, “Wahai Ibrahim, kepada siapa kamu meninggalkan kami?” Ibrahim menjawab, “Kepada Allah.” Ibu Ismail menjawab, “Aku rela dengan Allah.”
Ibnu Abbas meneruskan, “Lalu ibu Ismail kembali, meminum air itu dan menyusui anaknya. Manakala air telah habis, dia berkata, ‘Sebaiknya aku pergi memeriksa sekeliling, mungkin ada orang lain di sekitar sini.” Lalu ibu Ismail pergi. Dia naik ke bukit Shafa. Dia melihat-lihat apakah ada seseorang. Tetapi tak seorang pun yang dilihatnya. (Lalu dia turun) ketika sampai di lembah, dia berlari-lari kecil. Dia mendatangi Marwah. Dia melakukan hal itu sebanyak tujuh kali putaran. Kemudian ibu Ismail berkata, ’Sebaiknya aku kembali menengok anakku, apa yang dilakukannya?’ Ibu Ismail pulang menengok putranya, ternyata putranya masih dalam keadaan seperti semula. Dia mengerang-erang hampir mati kehausan, maka ibu Ismail tidak tenang karenanya. Ibu Ismail berkata, ’Sebaiknya aku pergi melihat-lihat mungkin ada seseorang.’ Lalu dia pergi dan naik ke bukit Shafa, dia melihat dan melihat, tetapi tidak seorang pun yang dilihatnya sampai dia menggenapkan menjadi tujuh kali (putaran). Kemudian ibu Ismail berkata, ’Sebaiknya aku kembali untuk melihat apa yang terjadi dengan anakku.’ Ternyata dia mendengar suara, dia berkata, ’Bantulah aku jika kamu membawa kebaikan.’ Ternyata dia adalah Jibril. Ibnu Abbas berkata, “Lalu Jibril mengisyaratkan dengan tumitnya begini. Dia menjejak bumi dengan tumitnya. Maka air memanc ar. Ibu Ismail terkagum-kagum, lalu dia menc iduki air itu.”
Ibnu Abbas berkata bahwa Abul Qasim berkata, “Seandainya dia membiarkannya, niscaya air itu akan mengalir.” Ibnu Abbas meneruskan, “Lalu ibu Ismail minum air itu dan menyusui anaknya.”
Lanjut Ibnu Abbas, “Lalu sekelompok orang dari Jurhum melewati dasar lembah. Mereka melihat burung. Mereka terheran-heran seraya berkata, ‘Burung itu pasti terbang di atas air.’ Mereka pun mengutus seorang utusan. Utusan itu melihat dan ternyata ada air. Lalu dia kembali dan menyampaikan hal itu kepada mereka. Maka mereka mendatanginya. Mereka bertanya, “Wahai Ibu Ismail, apakah engkau berkenan jika kami menyertaimu atau tinggal bersamamu?” Ismail beranjak dewasa dan menikah dengan seorang wanita dari mereka.
Ibnu Abbas meneruskan, “Ibrahim ingin berkunjung. Dia berkata kepada keluarganya, ‘Aku akan menengok anakku.’ Ibrahim datang, dia memberi salam dan berkata, ’Di mana Ismail?’ Istrinya menjawab, ’Pergi berburu.’ Ibrahim berkata, ’Jika dia pulang katakan kepadanya agar mengubah palang pintunya.’ Ketika Ismail datang, istrinya menyampaikan perihal kejadian yang baru dialaminya. Lalu Ismail berkata, “Kamulah orang yang dimaksud. Pulanglah kamu kepada keluargamu.”
Kemudian Ibrahim ingin berkunjung lagi. Dia berkata kepada keluarganya, ’Aku akan menengok anakku.’ Ibrahim pun datang dan bertanya, ’Di mana Ismail?’ Istrinya menjawab, ’Pergi berburu.’ Istrinya melanjutkan, ’Singgahlah untuk makan dan minum.’ Ibrahim bertanya, ’Apakah makanan dan minuman kalian?’ Istri Ismail menjawab, ’Makanan kami adalah daging dan minuman kami adalah air.’ Ibrahim berkata, ’Ya Allah, berkahilah mereka pada makanan dan minuman mereka.’ Ibnu Abbas berkata bahwa Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Keberkahan dengan doa Ibrahim ‘Alayhi Salam.“
Ibnu Abbas melanjutkan, “Kemudian Ibrahim ingin berkunjung lagi. Dia berkata kepada keluarganya, ‘Aku hendak menengok anakku.’ Ibrahim datang pada saat Ismail sedang meraut anak panah di belakang Zamzam. Ibrahim berkata, ’Wahai Ismail, sesungguhnya Tuhanmu memerintahkan kepadaku agar aku membangun rumah untuk-Nya.’ Ismail menjawab, ’Taatilah perintah Tuhanmu.’ Ibrahim berkata, ’Dia telah memerintahkanku agar kamu membantuku.’ Ismail menjawab, ’Kalau begitu akan aku lakukan.’ Atau sebagaimana yang dia katakan.
Ibnu Abbas berkata, “Lalu keduanya berdiri. Ibrahim membangun sementara Ismail menyodorkan batu kepadanya, dan keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)
Takhrij Hadist
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya di dalam Kitabul Anbiya’, bab ‘Dan Allah mengangkat Ibrahim’ (QS. An- Nisa: 125), 6/396, no. 3364. Hafizh Ibnu Hajar telah menjelaskan jalan-jalan periwayatannya dan imam-imam yang meriwayatkannya dalam Fathul Bari, 6/399.
Ucapan Ibnu Abbas di dalam hadits ini menunjukkan bahwa dia mengangkatnya (menisbatkannya) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Kalaupun Ibnu Abbas tidak mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam secara langsung, itu berarti dia mendengar dari sahabat lain. Maka hadits ini termasuk mursal sahabi (hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang tidak dia saksikan atau dengar sendiri dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam). Para ulama telah sepakat bahwa mursal sahabi tetap sah bila dijadikan sebagai dalil.
Penjelasan Hadist
Di dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyampaikan kepada kita tentang kisah bapak kita, Ismail, dan ibunya, Hajar, yang tinggal di tanah suci Makkah. Keduanya adalah orang pertama yang tinggal di sana. Tempat keduanya tinggal adalah belahan bumi tersuci di muka bumi ini, yang terdapat Baitul Haram. Di sanalah kaum muslimin berhaji. Di sanalah mereka menghadap dalam shalat. Di sanalah wahyu turun kepada Ismail dan orang setelahnya, yaitu Rasul termulia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Penyebab keluarnya Hajar dari Palestina ke Makkah adalah persoalan yang terjadi antara Hajar dan Sarah setelah Hajar melahirkan Ismail. Hajar terpaksa menjauh dari Sarah manakala dirinya tidak merasa aman di sisinya, sebagaimana hal itu diisyaratkan oleh hadits. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyampaikan kepada kita bahwa dalam kepergiannya Hajar menyeret bajunya di belakangnya untuk menghapus jejak kakinya agar Sarah tidak mengetahui ke mana dia pergi.
Dan Allah memerintahkan Ibrahim agar memindahkan Hajar dan putranya ke Baitullah, tempat jauh yang tidak bisa dijangkau oleh kendaraan kecuali dengan kelelahan jiwa.
Ini adalah perkara yang mungkin sulit dan berat bagi Ibrahim yang sudah tua, yang diberi anak Ismail dalam usia lanjut. Perkaranya bertambah sulit manakala Ibrahim meletakkan belahan jiwanya dan ibunya di tempat yang sepi tanpa air, tanpa makanan dan tanpa penduduk.
Akan tetapi Allah memiliki hikmah yang mendalam. Walaupun secara lahir perkara itu sulit dan berat, akan tetapi ia banyak memuat rahmat dan kebaikan. Dan kita melihat rahmat dan kebaikan ini pada hari ini secara jelas dan gamblang. Dengan didiami oleh Ismail, daerah itu tumbuh menjadi sebuah kota tempat dibangunnya Baitullah yang banyak direalisasikan ibadah-ibadah, syiar-syiar dan segala kebaikan. Dengannya Ibrahim dan Ismail memperoleh pahala dan balasan yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Itu adalah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah adalah Pemilik karunia yang besar.
Ibrahim membawa anak kecil, Ismail, dan ibunya dari tanah yang penuh berkah dengan udaranya yang sejuk, kebunnya yang hijau, airnya yang mengalir ke lembah itu, dan kemudian meletakkan keduanya di bawah pohon. Lalu dia meninggalkannya tanpa berpikir untuk membangunkan rumah sebagai tempat berlindung keduanya. Dia juga tidak menc arikan orang-orang yang bersedia tinggal di sisinya untuk melindunginya dari ancaman para begal atau serangan binatang buas.
Allah telah memerintahkan Ibrahim agar meninggalkan keduanya di lembah itu, maka dia pun melakukan seperti yang Allah perintahkan kepadanya. Dia menyerahkan keduanya kepada Allah, karena Dialah yang memerintahkannya untuk melakukan itu. Tentunya, Dia mampu melindungi keduanya, memberi makan dan minum kepada keduanya, serta menghibur keterasingan keduanya. Ibrahim tidak mempedulikan protes Hajar yang membuntutinya. Hajar berkata, “Engkau membiarkan kami dan pergi begitu saja?” Hajar mengulang itu berkali-kali, sementara Ibrahim tidak meladeninya. Ini adalah perintah Allah, dan perintah Allah tidak boleh dibantah. Inilah Islam di mana Ibrahim membawa dirinya kepadanya. “Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Baqarah: 131)
Manakala Hajar merasa gagal mengorek jawaban, dia berkata, “Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melakukan ini?” Ibrahim menjawab, “Ya.” Pada saat itu tenanglah hati dan jiwa Hajar. Seorang mukmin mengetahui bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang menjawab perintah-Nya dan mewujudkan keinginan-Nya. Ibrahim terus berjalan pulang. Ketika sampai di Tsaniyah dan tidak terlihat oleh Hajar, dia berhenti menghadap ke arah Baitullah, mengangkat kedua tangannya ke langit dan berbisik kepada Tuhannya, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka dari bauh-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37). Allah telah mengabulkan doanya dan merealisasikan harapannya.
Ibu Ismail tinggal selama berhari-hari. Dia minum dari kantong air yang ditinggalkan oleh Ibrahim untuknya dan makan kurma serta menyusui putranya. Akan tetapi kurma dan air itu cepat habis. Ibu Ismail haus dan lapar. Anaknya pun ikut lapar dan haus bersamaan dengan lapar hausnya ibunya. Dia berguling-guling karena kehausan. Ibu Ismail tidak tega melihatnya. Kondisi itu mendorongnya untuk menc ari sesuatu yang bisa menghapus rasa hausnya dan menghidupi dirinya.
Ibu Ismail melihat Shafa, bukit paling dekat dengannya. Jika seseorang ingin mengetahui apa yang ada di sekelilingnya, maka dia akan naik ke tempat yang tinggi agar bisa leluasa memandang dan menc ari apa yang dia inginkan. Ibu Ismail naik ke Shafa. Dia memandang dengan cermat. Tak seorang pun terlihat. Maka dia turun ke lembah untuk menuju bukit lain yang dekat, yaitu Marwah. Dia naik ke Marwah. Dia melihat seperti yang dia lakukan di bukit Shafa. Tak ada yang membantunya, tak ada yang menolongnya. Begitulah dia mondar-mandir di antara Shafa dan Marwah sampai tujuh kali. Pada saat dia mondar-mandir itu, dia menyempatkan diri menengok anaknya, untuk menghilangkan rasa cemas dan mengetahui keadaannya. Kemudian dia meneruskan mondar- mandir. Inilah sa’i pertama di antara bukit Shafa dan Marwah. Dan sa’i yang pertama kali dilakukan oleh Hajar ini menjadi salah satu syiar ibadah haji dan umrah. “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.” (QS. Al- Baqarah: 158)
Setelah putaran ketujuh dia mendengar suara. Dia mencermatinya. Dia berkata kepada dirinya, “Diamlah.” Sepertinya dia ingin agar bisa mendengar sejauh mungkin. Ternyata suara itu terdengar oleh telinganya untuk kedua kalinya. Dia berkata kepada sumber suara itu, “Aku telah mendengar suaramu, jika kamu berkenan untuk menolong.” Dia meneliti sumber suara itu. Dia melihat, ternyata suara itu berasal dari putranya. Ternyata Malaikat Allah, Jibril, sedang memukulkan tumitnya atau sayapnya ke tanah di tempat Zamzam. Air pun memancar.
Ibu Ismail telah menc ari air dari atas bukit-bukit yang tinggi, lalu Allah mengeluarkan air untuknya dari bawah kaki putranya yang masih bayi. Tentu kebahagiaan ibu Ismail sangatlah besar sekali. Tidak ada air, itu berarti kematian untuknya dan putranya. Memanc arnya air adalah kehidupannya dan kehidupan putranya beserta kehidupan lembah di mana dia tinggal.
Menurut pengamatanku, Jibril menjelma dalam bentuk seorang laki-laki, sehingga Hajar melihatnya dan berbicara kepadanya dan dia pun berbicara kepada Hajar. Sebagaimana Jibril juga pernah menjelma menjadi seorang laki-laki pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan dilihat oleh para sahabat, dan mereka pun mendengarkan ucapannya. Hal ini berdasarkan kepada bukti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak pernah melihat Jibril dalam bentuk aslinya seperti yang diciptakan oleh Allah kecuali dua kali. Pada kali pertama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sangat ketakutan.
Ibu Ismail, karena didorong oleh insting untuk mengumpulkan air dan menjaga persediaannya sebanyak mungkin, maka dia membendung air itu hingga dia bisa mengisi kantong airnya. Seandainya dia membiarkannya mengalir dan berjalan, niscaya ia akan menjadi mata air yang mengalir. Tentang hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, “Semoga Allah memberi rahmat kepada ibu Ismail. Seandainya dia membiarkan Zamzam” –atau beliau bersabda, “Tidak menciduk air-” niscaya zamzam menjadi mata air yang mengalir.“
Allah memberikan air kepada ibu Ismail untuk menghapus dahaganya, dan air susunya kembali menetes. Dia pun bisa menyusui putranya. Malaikat menenangkannya, “Jangan takut terlantar.” Malaikat menyampaikan berita gembira kepadanya, bahwa bayinya akan membangun Baitullah bersama ayahnya dan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan keluarganya.
Allah menyempurnakan nikmat kepada Ismail dan ibunya. Maka datanglah orang-orang ke lembah itu untuk menetap. Ibu dan Ismail pun mulai kerasan. Keterasingan sedikit demi sedikit mulai lenyap. Sekelompok orang dari suku Jurhum melewati daerah di dekat mereka. Mereka singgah di Makkah bagian bawah. Mereka melihat seekor burung berputar-putar di udara. Mereka mengetahui bahwa berputar-putarnya burung itu tidak lain karena di daerah itu terdapat air. Karena jika tidak ada air, maka burung itu akan terus berlalu dan tidak berhenti. Burung yang berputar-putar di udara seperti yang mereka saksikan itu adalah burung yang mengitari air dan mendatanginya. Hanya saja, mereka tetap meragukan perkiraan mereka sendiri, karena mereka mengenal betul daerah tersebut, sebuah lembah tanpa air dan tanpa penghuni. Untuk memastikannya, mereka mengutus seseorang dari kalangan mereka. Utusan itu kembali dengan menyampaikan apa yang dilihatnya kepada mereka. Mereka pergi kepada ibu Ismail. Dengan mata kepala mereka sendiri, mereka melihat air yang memanc ar dari bebatuan. Mereka takjub dan meminta ibu Ismail agar mengizinkan mereka untuk tinggal bersamanya. Ibu Ismail setuju, dengan syarat bahwa mereka tidak berhak terhadap air. Mereka hanya boleh minum. Mata air tetap menjadi hak ibu dan Ismail. Maka mereka mendatangkan keluarga mereka dan tinggal bersama ibu Ismail.
Ismail tumbuh dengan baik menjadi seorang pemuda di lingkungan itu. Seorang pemuda yang giat lagi rajin, diimbangi oleh akhlak mulia dan sifat-sifat luhur. Orang-orang yang tinggal bersamanya menghormatinya dan menc intainya. Mereka menikahkannya dengan gadis mereka.
Ibu Ismail meninggal setelah Ismail menjadi seorang pemuda, dan dia pun tenang kepadanya. Kematian adalah akhir kehidupan yang hidup. Lalu Ibrahim datang menengok anaknya. Dia tidak menemukan Ismail di rumahnya. Ismail sedang keluar menc ari rizki untuk keluarganya. Istri Ismail mengeluhkan kehidupannya. Manakala Ibrahim bertanya tentangnya, dia memberitahukan bahwa mereka hidup dalam keadaan sulit dan sengsara. Ibrahim meminta kepada istri Ismail agar menyampaikan salamnya kepada Ismail dan berpesan kepadanya agar dia merubah palang pintu rumahnya.
Istri Ismail tidak tahu bahwa bapak tua yang singgah padanya adalah mertuanya. Dia juga tidak tahu jika pesannya yang disampaikan kepada suaminya berisi perintah untuk menc eraikannya. Ismail mentaati pesan bapaknya, dan istrinya ditalaknya.
Ibrahim melihat wanita tersebut tidak layak menjadi istri seorang Nabi sekaligus Rasul yang disiapkan untuk memimpin dan mengarahkan serta mendidik keluarga, anak-anaknya dan orang-orang di sekitarnya. Istri yang memperpanjang keluhan dan hobi ngedumel tidak mungkin menjadi penopang suami yang memikul tugas-tugas besar.
Ketika Ibrahim kembali lagi, dia bertemu dengan seorang wanita yang lain dari sebelumnya. Ibrahim rela putranya menikah dengannya dan meminta anaknya agar mempertahankannya. Ibrahim bertanya tentang kehidupan mereka. Istri Ismail menjawab, “Segala puji bagi Allah, kami dalam kebaikan dan kemudahan.” Ibrahim bertanya tentang makanan dan minuman mereka. Dia menjawab, “Daging dan air.” Maka Ibrahim mendoakan keberkahan kepada mereka pada daging dan air. Seandainya mereka mempunyai biji-bijian yang mereka makan, niscaya Ibrahim akan mendoakannya juga sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menyampaikan bahwa di antara keberkahan doa Ibrahim adalah, bahwa penduduk Makkah tetap hidup sehat walau hanya makan daging dan minum air. Padahal, selain mereka bisa berakibat celaka jika hanya makan daging dan air saja.
Untuk ketiga kalinya Ibrahim datang mengunjungi anaknya dan menc ari tahu tentang beritanya. Ibrahim mendapatkannya di rumah sedang duduk meraut anak panah di bawah pohon itu, pohon di mana dulu Ibrahim meninggalkannya dengan ibunya pada saat mereka datang pertama kali di tempat itu. Ismail bangkit kepadanya. Keduanya melakukan apa yang biasa dilakukan oleh ayah kepada anaknya dan anak kepada ayahnya yang lama tidak bertemu. Mereka saling memberi salam, berangkulan, berjabat tangan, dan lain sebagainya. Ibrahim menyampaikan perintah Allah kepadanya, agar membangun Baitul Haram dan bahwa Dia memerintahkan Ismail untuk membantunya. Maka Ismail bersegera melaksanakan perintah Allah. Ibrahim membangun Baitullah dengan bantuan Ismail. Sambil membangun keduanya berdoa, “Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amal kebaikan kami). Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al- Baqarah: 127)
Pelajaran Dan Faedah Hadist
Kisah ini mengandung banyak informasi dan fakta yang tidak mungkin kita ketahui seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak memberitahukannya kepada kita. Informasi-informasi berharga tentang nenek moyang yang mulia, tentang tumbuhnya kota suci, tentang pembangunan Baitul Atiq, dan lain sebagainya.
Ketaatan Ibrahim kepada perintah Allah agar membawa istri dan anaknya ke tempat itu, walaupun perkaranya sedemikian sulit atas dirinya. Seorang hamba bisa jadi membenc i sesuatu, sementara kebaikan tersimpan di dalamnya; dan dia bisa jadi menyukai sesuatu, padahal itu buruk baginya.
Allah menjaga dan melindungi para walinya sebagaimana Dia telah menjaga Hajar dan Ismail manakala Ibrahim meninggalkannya di tempat itu.
Berserah diri kepada perintah Allah tidak menafikan usaha seorang hamba dalam perkara yang mengandung kebaikannya. Hajar menc ari sesuatu yang bisa menjaga kelangsungan hidupnya dan hidup putranya, walaupun dia berserah diri kepada perintah Allah.
Kemampuan Allah mengeluarkan air dari batu yang tuli, seperti Dia mengeluarkan air Zamzam.
Perhatian dan nasihat bapak kepada anak tentang sesuatu yang menurutnya baik bagi anaknya. Ibrahim selalu mengunjungi anaknya untuk mengetahui kondisi dan keadaannya dan mengarahkan kepada sesuatu yang baik baginya.
Ngedumel karena minimnya rizki dan sulitnya hidup bukan termasuk akhlak orang-orang shalih. Ibrahim membenci sifat ngedumel dari istri Ismail akan beratnya kehidupannya bersama Ismail. Sebaliknya, sabar atas minimnya bekal dan sikap syukur atas nikmat Allah termasuk akhlak orang-orang shalih. Oleh karena itu, Ibrahim memuji istri Ismail yang ridha dan bersyukur.
Doa orang shalih agar makanan dan minuman menjadi berkah, sebagaimana Ibrahim mendoakan daging dan air bagi penduduk Makkah agar menjadi berkah.
Menampakkan perasaan bahagia dan senang pada waktu bertemu orang yang dicintai. Mengungkapkannya dengan sikap seperti yang dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail ketika keduanya bertemu.
Ismail adalah seorang pemanah yang mahir dan pemburu yang ahli. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda kepada sahabat-sahabatnya, “Wahai Bani Ismail, panahlah karena bapak kalian adalah seorang pemanah.“7
Saling tolong menolong di antara anggota keluarga dalam berbuat kebaikan, sebagaimana Ismail membantu bapaknya membangun Ka’bah.
Bakti Ismail kepada bapaknya. Dia taat kepada ayahnya untuk menc eraikan istri pertamanya dan menahan istri keduanya. Jika ayah yang meminta mentalak istri dengan pertimbangan-pertimbangan Islamiah seperti Ibrahim, maka anak tidak boleh menolak.
Ismail adalah bapak orang Arab Musta’ribah, yaitu Arab Hejaz. Adapun kabilah–kabilah Himyar, yaitu Yaman, maka mereka kembali kepada Qahthan. Orang-orang Arab sebelum Ismail dikenal dengan sebutan orang Arab Aribah, dan mereka terdiri dari banyak kabilah. Di antara mereka adalah Ad, Tsamud, Jurhum, Thasm, Jadis dan Qahthan. Kebanyakan dari mereka telah binasa dan punah.8 Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Ismail adalah orang pertama yang menguc apkan bahasa Arab dengan lisan yang jelas ketika dia berumur empat belas tahun.9
Koreksi Al-Qur’an dan hadits yang shahih terhadap kesalahan dan penyimpangan Taurat.
- 7 Diriwayatkan oleh Bukhari di beberapa tempat dalam Shahih-nya. Lihat no. 97 dan 3371.
- 8 Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir, 1/120, 2/165.
- 9 Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menisbatkannya kepada Thabrani dan Dailami, dihasankan oleh Ibnu Hajar, dan dishahihkan oleh Albani dalam Shahihul Jami’, no. 2581.