Perang Salib Bagian 3
UMAT Islam tidak tinggal diam. Kekalahan demi kekelaman yang mereka alami kembali mengobarkan semangat jihad yang sempat padam. Mereka yang sebelumnya tercerai-berai karena perebutan kekuasaan kembali menghimpun diri dalam satu kekuatan yang besar.
Kali ini pasukan Islam dipimpin oleh Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, karena keberaniannya melawan pasukan Salib dia digelari “Palu Pemukul.” Dengan semangat yang membara mereka bergerak ke arah Aleppo. Luasnya dan panasnya padang pasir tidak mereka hiraukan lagi. Peperangan pertama Zanki dan pasukannya dengan pa- sukan Salib terjadi di Edessa.
Wilayahnya ini karena letaknya yang berdekatan dengan Baghdad serta posisinya yang berada di jalur Mesopotamia dan Mediterania, merupakan benteng terluar Kerajaan Latin di Suriah selama setengah abad. Wilayah ini akhirnya bisa direbut oleh Zanki dari Joscelin II pada tahun 1144 M. Di wilayah ini pasukan Salib memang mempunyai kekuatan yang besar, tapi mereka tidak didukung oleh sistem pertahanan yang kuat.
Setelah kematian Zanki tugasnya diambil alih oleh anaknya, Numuddin Zanki. Numuddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Jatuhnya Edessa Membuat Umat Kristen Panik
Mereka sadar jika pasukan Islam telah maju dan menemukan kepercayaan dirinya maka akan sulit untuk dibendung. Oleh karena itu, pasukan Salib segera menyiapkan diri. Kali ini yang memprovokasi pasukan Salib adalah Paus Eugenius III. Sang Paus menyatakan bahwa Perang Salib II harus segera dilakukan demi menyelamatkan Kota Suci dari gempuran orang-orang kafir.
Seruan Paus mendapatkan sambutan yang positif oleh raja Perancis, Louis VII, dan raja Jerman, Con- drad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Siria. Akan tetapi gerak mereka tertahan oleh pasukan Numuddin Zanki. Sampai peperangan usai pasukan Salib tak pernah bisa menginjakkan kaki mereka di Damaskus. Sementara itu, pimpinan mereka, Louis VII dan Condrad II melarikan diri pulang ke negerinya.
Keberhasilan Pasukan Numuddin
Keberhasilan pasukan Numuddin memukul pasukan Salib menambah semangat umat Islam. Mereka semakin giat berlatih untuk mempersiapkan diri merebut kembali Yerussalem. Pada saat persiapan tersebut hampir mencapai puncaknya, pada tahun 1174 M Numuddin wafat. Setelah wafatnya Numuddin pimpinan perang dipegang oleh Shalahuddin al Ayyubi— ia merupakan pendiri dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M.
Shalahuddin atau juga dikenal sebagai Saladin meru- pakan panglima perang yang pemberani. Sejak pertama kali memegang jabatan sebagai panglima perang dia langsung membulatkan niatnya untuk merebut kembali Yerussalem. Dia mengerahkan pasukannya untuk mengusir pasukan Salib dari Yerussalem.
Pada 1 Juli 1187 M, Saladin berhasil merebut Tiberias setelah berperang selama enam hari. Keberhasilan ini kemudian dilanjutkan dengan perang besar-besaran melawan pasukan Salib. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Hattin, yang berlangsung 3-4 Juli. Saladin memulai peperangan pada hari Jum’at—hari yang merupakan favorit- nya.
Kekuatan Islam berhasil menaklukkan tentara Salib yang berjumlah 20.000 orang. Selepas kemenangan dalam Perang Hattin, Saladin terus bergerak ke Yerussalem. Setelah seminggu mengepung Yerus- salem, pada 2 Oktober 1187 M, Saladin berhasil merebut kota tersebut. Di Masjid Aqsha, kumandang adzan menggantikan lonceng gereja. Setelah selama 88 tahun dalam genggaman pasukan Salib akhirnya Yerussalem bisa direbut kembali oleh umat Islam.
Baca Juga : Saladin Sang Penakluk Yerussalem
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum Muslimin sangat memukul perasaan pasukan Salib. Mereka pun menyusun ren- cana balasan. Kali ini salib dipikul oleh tiga orang; Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan Salib kembali bergerak menuju Yerussalem pada tahun 1189 M. Meski ber- hasil merebut Akka, mereka tidak pernah berhasil memasuki Yerussalem karena tak mampu melawan pasukan Saladin.
Pada periode selanjutnya Saladin membuat perjanjian perdamain dengan pasukan Salib. Bentuk perdamain ini memang bisa dikatakan unik. Sebagai penganut paham romantik, Richard, raja Inggris saat itu mengajukan saudara perempuannya untuk menikah dengan saudara laki-laki Saladin, al Malik al Adil. Sebagai mas kawin dari pernikahan tersebut adalah kota Yerussalem. Lewat cara ini maka perselihan antara umat Kris- ten dengan umat Muslim diakhiri.
Pada 2 November 1192 M, perjanjian perdamainan tersebut disahkan, dengan ketentuan daerah pantai milik bangsa Latin sedangkan daerah pedalaman milik umat Islam, dan peziarah yang datang ke Yerussalem tidak boleh diganggu.